Laman

Tuhan

Saya percaya bahwa anak-anak itu filosof. Dulu. Lalu mengerti kenapa anak-anak seperti kita (dewasa) kehilangan roh itu karena ide tentang agama. Kata Karen Amstrong "pada mulanya adalah bahasa". Setidaknya itu yang terjadi dalam percakapan malam ini. Dengan Sophia. Usia: 5 tahun 4 bulan.

Kami sedang nonton Scooby Doo (setiap malam dia akan meminta saya merekomendasikan film yang bisa ditonton anak-anak). Malam ini Scooby Doo membawa pada pembicaraan berat kedua kami, setelah soal mati. Kenapa Scooby Doo? kebetulan film ini menceritakan tentang kelompok anak muda dan anjing mereka yang bisa berbicara menyelidiki misteri monster yang menyerang kota. Sebelumnya saya sudah peringatkan Sophia untuk tidak menonton karena itu tentang monster, takut dia mimpi tentang monster dan menangis malam-malam atau pagi-pagi mengeluh semalaman dikejar monster. Saya ingat sewaktu kami pulang dari Palu untuk pemeriksaan kesehatannya (ohya dia akhirnys divonis sakit bronchitis), sepanjang perjalanan dia mengeluh memikirkan tentang kenapa ada monster di dunia ini. Tapi seperti biasanya,peringatanku soal jangan menonton yang monster (maksud hati agar ada dialog antara kami mengapa film itu tidak bagus) mengantarkan kami pada percakapan serius. Sophia mulai beradu argumentasi denganku. Dimulailah percakapan itu:

"Mama, itu monster pasti akan kalah, jadi tidak perlu takut"

"Bagaimana Opi bisa tau kalau monsternya akan kalah"

"Kan ada Yesus!" nadanya tegas, mengingatkanku pada hari ketika kami berbelanja di pertokoan orang arab di Palu dikelilingi oleh penjual menggunakan jilbab. Saat itu saya sedang menunjuk dua bedcover untuk dipilih. Satu warna keunguan, satu lagi warna orange. Saya menunjuk orange, tapi Sophia langsung teriak (dan yang pasti membuat semua orang disekitarnya bereaksi): Mama! saya mau yang ini (menunjuk yang warna keunguan). Ini bagus. Ini warnanya Yesus!.......Gosh. Lainkali saya akan cerita apa yang terjadi selanjutnya di pertokoan itu.

Lalu lanjutnya" Jadi, gini mama! (dengan nada siap meniru saya saat berbicara dengan ibu-ibu di Sekolah Perempuan). Monster itu akan dibekukan oleh cat. Cat itu nanti akan dibeginikan (meniru gaya meremas pakaian), lalu disemprotkan ke monster slallu dia beku deh. Nah cat itu warnanya Yesus"


"Loh, cat kan warna biasa saja"

"Tidak mama. Makanya saya suka warna pink. Itu warnanya Yesus"

(bengong)

Seperti melihat kesempatan mengguruiku, Sophia melanjutkan:

"Aduh, mama! Mama ini tidak tahu ya? Yesus itu memiliki kita. Yesus itu yang punya semua warna. Warna merah, warna ungu, warna pink"

Saya mati kutu. Tetap diam sambil pura-pura batuk.

Sophia jadi tambah bersemangat

"Mama, Yesus itu yang memiliki semuanya di dunia ini. Kita diberkati. Yesus yang memberikan kita makanan, minuman, durian, juga obat-obat ini"

Ah, ini dia. Saya punya kesempatan ruang berargumentasi juga akhirnya

"Opi, yang bikin obat-obatan kan dokter, ada juga loh yang namanya apoteker"

Sophia cepat menyambar

"Aduh, mama ini tidak percaya. Yesus itu yang memiliki dokter. Yesus yang membuat kita pintar. Yesus yang memiliki seluruh dunia ini. Yesus yang punya meja ini, televise ini, mama punya alat masak, pakaiannya Opi dan mama. Semuanya"

Saya nekad, bertanya:

“Oh..mmm..Opi udah pernah ketemu Yesus?” (Oh, come on, ini bukan soal Thomas yang tidak percaya sebelum melihat Yesus bangkit seperti yang diceritakan Alkitab. Ini soal, saya nekad ingin tahu darimana pengetahuan ini berasal tanpa sepengetahuan saya. :p

“Opi lihat di film, mama. Mama tidak pernah nonton film Yesus ya? Opi lihat Yesus di film. Yesus yang memiliki semua dunia ini. Kita ini diberkati”

Saya tidak percaya bagaimana ini bisa terjadi. Langsung turun tangga pura-pura ambil air minum. Sophia bergegas bangkit dari tempat duduknya meninggalkan Scooby Doo yang hampir berhasil menangkap monster, mengikuti saya ke dapur. Berpikir cepat. Ah ya saya ingat bahwa Sophia sering menyebut Merry (keponakan saya yang berusia 7 tahun) sebagai referensinya kalau bicara soal agama. Nah, Merry memang wajar mengetahui itu karena ayahnya (kakak kandung saya) seorang pendeta jemaat Pantekosta yang setiap pagi hingga malam bernyanyi dan berdoa lagu rohani, juga menonton film tentang Yesus. Saya ingat sekali sewaktu masih SMU dan kakak saya baru saja berpindah aliran dari Protestan ke Pantekosta (tentang ini suatu saat juga akan saya ceritakan, peristiwa dimana ayah saya menunjukkan aksi nyata gerakan interfaith di intra religion), pagi hari saya memutar lagu pop Indonesia. Kakak saya langsung keluar kamar dan menegur dengan keras untuk pertama kalinya : “isi hidupmu Lian sejak pagi hingga malam dengan Yesus. Matikan itu, ganti dengan lagu gereja. Ini saya bawa kasetnya”

Saya tahu, sekarang saya harus mengatakan sesuatu.

"Lalu bagaimana dengan rumah kita. Kan yang membuat rumah kita bli-bli dari Bali?" Berharap ini lebih berhasil dari sebelumnya.

"Ampun deh mama" dengan tangan direntangkan, mengangkat pundaknya (dia berumur 5 tahun, 4 bulan), memiringkan kepalanya sedikit ke kiri, lalu menarik napas panjang seperti orang yang capek dan mengatakan ini sambil menggeleng-gelengkan kepalanya: Mama, mama....Yesus yang mengajari Bli-bli itu. Yesus yang membuat mereka tau bagaimana cara bikin rumah-nya kita"

........................................

Saya tersedak.

Padahal, airputihnya bukan air dari kulkas. Speechless...

Mendatanginya di tangga yang masih menggeleng-gelengkan kepala dan siap mengguruiku lagi.

"Opi, itu Bli-bli agamanya Hindu loh"

Saya berbicara pelan. Bukan dengan nada kalah, tapi takut dia tiba-tiba akan teriak: Mama!!!!Hindu itu juga punya-nya Yesus loh.Lega bukan kata itu yang muncul, Sophia menyambung ucapanku dengan cepat:

"Mama,mama....(masih dengan geleng-geleng kepala).. ternyata mama tidak mengerti tentang Yesus. Mama harus belajar tentang Yesus"

Percakapan berakhir disitu.

Di layar, Scooby Doo akhirnya berhasil melumpuhkan monsternya.

Seperti kata Sophia, dengan cat.

*bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar