Laman

Manik-manik


Third Week

Pernah seseorang mengatakan (mungkin sekali mengutip kitab) dalam dialog di film “Segala sesuatu ada saatnya. Ada saat berduka, ada saat bergembira.Nikmati saat itu. Karena segala sesuatu tepat pada saatnya, indah pada waktunya”

Minggu ketiga pasca operasi, tidak pernah ada penyesalan bahwa waktu itu adalah sekarang. Bagaimanapun sebelumnya terasa berat dan egois hanya memikirkan satu kaki ini untuk dibawa khusus dalam pemulihan dan terapi sementara Sophia sedang senang-senang menggunakan lipstick diseluruh wajahnya, merengek minta kuteks, membujukku dengan jari telunjuknya sambil berkata serius “satu aja,mama” saat tahu ada permen di tas, ketika dia baru saja bisa mengeja huruf dan angka hampir fasih meskipun belum pernah kuajari serius, bersemangat menggambar di papan,kursi,dinding,karpet,kertas,buku atau mata berbinar seperti bintang ketika bermain masak-masak meniru gayaku memasak sambil berulang-ulang berkata “ Oppie bikin ini untuk mama ya. Supaya mama cepat sembuh”. Lalu, saat dia penuh semangat berlari-lari kecil mengambilkan tongkat “Oppie saja mama, Oppie saja ambil untuk mama”

Tentang 24 x 1 menit


Hari-hari berjalan selalu dalam lingkar 24 jam. Pernah berusaha menemukan sejarah bagaimana penemuan 24 jam ini begitu mempengaruhi kehidupan setiap satu orang. Bahwa setiap satu hari yang 24 jam itu sekarang menjadi hitungan tetap bagi satu kaki yang sedang berjuang. Bahkan dihitung oleh Sophia dalam bentuk pertanyaan “berapa lama”, atau pernyataan “ kenapa lama sekali”

Tidak pernah membayangkan bahwa masa-masa di minggu kedua hari-hari 24 jam ini menjadi terasa sangat bersemangat tapi juga bersamaan dengan itu terasa lebih dari 24 jam. Setiap pagi adalah menyenangkan kaki. Memastikan visualisasi dan pain drain membantu proses yang sedang berjalan di dalam sana. Mandi, jadi aktivitas paling sulit. Dan menikmati matahari selalu menyenangkan. Dikelilingi orang-orang yang menganggap keluarga meski sibuk dengan urusan masing-masing. Merindukan yang hanya bisa diatasi dengan telepon. Mendengar suara dalam dua puluh atau lebih sedikit terasa membuat 24 jam jadi tidak lagi berat.

Manuscript Celestine


First day on Second Week

Manuscript Celestine
. Buku ini yang pertama mengajariku bergerak dalam alam semesta. Meskipun banyak perdebatan mengenai buku ini, setidaknya saya telah lahap memakannya pada tahun-tahun pertama kuliah. Selahap memakan Dunia Sophie. Kegilaan sekaligus bentuk. Mengantar pada pada Plato “ The Republic”, Thomas Moore’s “ Utopia” Voltaire “ Candide” bahkan Karl Marx “The Communist Manifesto” Tapi seri ini tidak ingin berbincang tentang buku lain yang disebutkan terakhir. Nanti saja ada waktunya.

Tidak pernah ada yang namanya kebetulan. Setidaknya itu salah satu kata kunci di buku pertamanya. Sangat ingat waktu itu sangat bersemangat mengetahui apapun yang ada didepan mata, yang didengar oleh telinga atau yang sempat dirasakan. Kelompok Tikar Pandan, gabungan anak muda dari berbagai latarbelakang identitas agama dan suku di Jogjakarta telah membawaku hingga pada detik ini. Ah, iya tentu saja bukan hanya dari sejak bergabung dengan segerombolan orang gila yang senang bercengkrama dengan filsafat dan rajin berkumpul di rumah Romo Mangunwijaya yang sederhana dan memberi aura inspiratif itu. Namun sejak awal ketika pilihan-pilihan dilakukan.

Selera Kampung

Day 9 - Second Week

Sering mendengar kata banyak orang, termasuk dr. Wien, bahwa obat yang terbaik adalah semangat. Teknologi adalah alat pendukung, karena itu hal yang kedua setelahnya adalah makanan. Makanan tidak hanya sekedar agar tidak merasa lapar, namun juga mengalirkan kehidupan. Termasuk pada bagian tubuh yang sekarang ini sedang membutuhkan transmisi energi tingkat tinggi.

Mungkin itu sebabnya juga di setiap resep obat yang diberikan, sebelumnya sudah tercetak paten pilihan sesudah atau sebelum makan. Sehingga hanya membutuhkan angka berapa kali dalam sehari di setiap plastik resep obat. Bahwa setiap satu pil obat yang juga pendukung hanya boleh disertai kata makan. Jenis makanan juga penting. Dan cara memasak, selalu bagian paling mengasyikan dan menantang. Terutama di Lokapala.

Eat, Pray and Love


Day 8 – Second week

Sebenarnya rencana awal semua proses ini adalah di Solo. Rumah sakit Solo sudah sejak awal disebut-sebut oleh banyak orang berkaitan dengan rencana. Namun Dika mendorongnya lebih baik dari perencanaan itu dan Sue menjadikannya lebih sempurna dengan semua bantuan, motivasi dan ruang yang ada padanya. Ketika pertama kali divonis oleh Dr. Bobi, seorang dokter akupuntur berpengalaman yang sudah berumur bahwa kaki ini sudah mati dan harus secepat, sangat cepat ditangani agar tidak lumpu, rasa panic melanda. Maka hari-hari dipenuhi dengan kunjungan dari satu dokter ke dokter lain, dari satu terapi ke terapi lain, berharap ada yang menghibur dengan kata yang lain. Tapi tetap saja tidak. Semua mengatakan “ jika tidak sekarang, maka jangan bermimpi”

Perjalanan dari TEDxUbud yang kata Sue berulang-ulang mendapatkan empati dari banyak pihak kemudian membawa langkah kaki ke salah satu terapis terkenal di Ubud yang bersedia memberikan terapi gratis padahal tarifnya luar biasa internasional. Terapi dan perbincangan ini kemudian membawaku secara tidak terduga pada salah seorang pengobat tradisional

Menciptakan

Day 7 - First Week

Tidak pernah ada yang mudah pada tahap-tahap awal memulai. Seringkali hanya berupa khayalan yang membentuk mimpi. Tapi lebih baik daripada tidak. Jadi pagi hari dalam minggu pertama adalah membentuk khayalan menjadi mimpi. Itu saja dulu. Setidaknya kepastian dari dokter dari semua proses perawatan yang ada sejak awal, dan dukungan dari sahabat juga cinta dari kekasih menjadi jaminan awalnya.

Ini dipermudah karena saya sebelumnya sudah pernah belajar tentang teori menciptakan kenyataan berawal dari mimpi dalam konteks rasa sakit di Komunitas Capasitar. Sebuah komunitas yang berorientasi pada proses penyembuhan pertama-tama melalui diri sendiri. Sudah sejak 4 tahun lalu di Jogjakarta, ide-ide dalam Capasitar, terutama Taichi dikenal. Namun lebih banyak dari pengenalan itu adalah sebuah pelarian saat diri harus menanggung beban yang pada akhirnya melahirkan keindahan. Karena itu lebih banyak melakukannya sebagai sebuah penghiburan bukan sebuah proyek.

Jepun


Day 6 - a first week

“Namanya Jepun” kata Bli Ari, si pemilik villa. Tangannya sibuk mengatur tali-tali benang layang-layang di taman. “Jepun akan berbunga setiap saat setelah berotasi” Lanjutnya mendengarku bertanya heran mengenai bentuk lucu pohon itu . Villa Lokapala punya lebih dari sepuluh pohon Jepun.Menurut Bli Wayan setiap orang bali, atau di setiap sudut jalan di Bali pasti akan akan melihat pohon Jepun. Mataku menyapu seluruh keberadaan pohon Jepun di taman. Hanya satu pohon yang kelihatan sedang berdaun hijau, sementara beberapa pohon nyaris botak, atau paling tidak berdaun dua atau tiga. Pagi hari pertama setelah operasi, di istana Lilo,aneh melihat pohon botak dipertahankan di taman asri. Melihatku bengong seperti hendak mengira-ngira sesuatu, Bli Ari yang saat itu sedang berjalan menuju sawah di dekat kolam renang untuk mengaitkan layang-layang berhenti sejenak di dekatkku dan menambahkan ” Memang awalnya kelihatan botak Cuma batang kayu begitu. Lama-lama berganti musim, atau bulan akan keluar daun, hijau semuanya, lebat diseluruh batang itu. Tiba-tiba akan muncul bunga. Harum sekali. Warnanya bisa putih, merah mirip jingga dan kuning. Keharuman bunga pohon Jepun sangat terkenal dan dipakai dalam setiap sesajen atau perayaan di Bali, atau sekedar untuk dekorasi”