
the surgery day......
Thursday, May 12 2011
Hari pertama di semua peristiwa selalu punya perasaan yang tidak karuan. Hari kelima pasca operasi, infus-infus penyangga stabilitas tubuh, suntikan penentu kedalaman rasa nyeri, resmi dicabut. Tubuh (dan tentu saja kaki) yang baru saja berkenalan satu sama lain dipaksa untuk beradaptasi lebih cepat dari yang dibayangkan. Semua serba cepat dan diluar dugaan di rumah sakit hijau ini.
Saya bukan pendukung salah satu calon presiden 2008 yang punya slogan lebih cepat lebih baik. Tentu saja bukan pendukungnya, apalagi ketika si calon presiden sekaligus pengusaha besar PT. Bukaka Hydropower and Consulting Engineering yang menguasai tanah, udara, dan air di Sulawesi ini dengan cerdasnya telah menggunakan konflik Poso sebagai pintu masuk perusahaannya untuk mewujudkan ambisi pribadinya. Bukan hanya bukan pendukungnya tetapi juga menjadi pihak berlawan bagian depan dengan rencananya yang akan mengeruk tanah-tanah di Sulawesi, mentang-mentang bergelar Tokoh Perdamaian gara-gara Pertemuan Politik Perdamaian di Malino itu. Jadi, meskipun bukan slogan, tapi cepat dan berhasil baik itu terasa sangat dalam misi penyelamatan kaki.
Pertama kali mendengar dr. Wien mengatakan akan melakukan empat kali jenis operasi dengan rincian tiga kali di satu kaki dan satu kali di bagian tubuh yang lain (waktu itu tidak disebutkan di bagian mana), rasanya proses dan prosedurnya akan sangat lama dan panjang, tentu melelahkan. Bagaimana tidak? Satu kaki ini saja, belajar dari pengalaman operasi sebelumnya, membutuhkan dua kali operasi dalam satu tahun. Operasi pertama, empat jam lamanya menyusun tulang, seperti menyusun batu-bata. Operasi kedua, tiga bulan setelah operasi pertama, dan setelah mengalami infeksi, hanya satu jam tetapi gagal menyatukan daging yang terlanjur enggan berteman satu sama lain. Operasi ketiga, dua jam, setahun setelah operasi pertama bermaksud menghalau besi yang sebelumnya dianggap penyangga tulang batu-bata karena telah menjadi besi penghalang pertumbuhan daging. Operasi ke empat, sudah lupa untuk apa karena terlalu malas mengingat.
Seperti orang udik rasanya (mengakunya memang orang udik) ketika terbengong-bengong mendengar penjelasan singkat dokter, semenit sebelum mulai operasi. “Kita akan melakukannya sekaligus. Potong, sambung, dan tarik tulang”. Tiga jenis dalam satu kali. Dan, hanya satu jam?Bukan main, ini dokter makan apa waktu kecil ya? Nada percaya diri si dokter yang membuat pasrah.Malas lagi bertanya. Memilih untuk memastikan seluruh sendi dalam tubuh bersiap menghadapi kenyataan bagian-bagian mereka harus berurusan lagi dengan bau dan jarum panjang pendek, atau apalagi dibagian bawah sana yang sudah ditutup kain (lagi-lagi) hijau. Seakan membantu memastikan bahwa kali ini akan lebih baik dari operasi sebelumnya, akhirnya membisikkan pesan pada satu tarikan napas untuk disampaikan pada saraf lain diseluruh negara bagian sistem tubuh "kali ini ditangan yang tepat. Dia dokter orthopedi yang berpengalaman" Memang harus diyakinkan agar semua sistem dalam negara bagian tubuh dimanapun bisa mengheningkan cipta sejenak untuk menikmati saja proses cabut,pasang, tarik itu.
Gagal. Pembiusan yang dilakukan hanya setengah badan, melaporkan langsung pemandangan,pendengaran dan perasaan dari lapangan aksi cabut,pasang,tarik. Tentu saja karena telinga tidak dibius, maka terdengarlah irama bertalu-talu rapi, kurang indah, tok tok tok…Mata juga tak bisa dibius meski sudah diberikan obat tidur. Mengintip sedikit di bayangan kursi yang plastiknya masih bersih dan jernih di belakang dokter, nampak mengayunkan tangannya di bagian pinggang sebelah kiri. Aduh...ini dokter sedang operasi atau bermain orchestra?kenapa tangannya naik turun di pinggangku dan terdengar bunyi tok-tok-tok?Harusnya bunyi yang muncul alunan lagu klasik Bethoven yang rajin kuputar saat Fofie masih bayi. Kalau tok-tok?itu mengingatkanku pada tukang batu yang bekerja mencari nafkah di jalan menuju Pantai Siuri. Ah…kenapa pula ini mata tidak tertidur. Secepat kilat imajinasi tentang apa yang terjadi harus dialihkan, kepala bergerak lurus ke atas. Masya Allah, kipas angin besar yang tergantung tepat di atas lampu-lampu sorot bedah sangat tidak membantu karena memantulkan gambar kaki berwarna merah, terbuka rongganya. Tangan-tangan nampak sedang berkerumun di atasnya. Ampun. Sedetik, usaha memalingkan wajah kearah kanan menemukan penyelamat. Hijau. Dinding warna hijau sangat amat membantu meski tidak bisa menghilangkan bunyi dan bayangan pantulan kursi dan kipas angin.
Usaha keras mengalihkan trauma dan horror di otak rupanya tidak punya kawan di ruangan hijau itu. Ini rumah sakit Denpasar Bali, bung. Para bli perawat (panggilan untuk laki-laki di Bali) itu sibuk bercakap dalam bahasa yang satu kosa katapun tak dipahami. Saya hanya bisa menduga-duga, mereka bicara tentang anak dan istri mereka yang jarang ditemani karena terlalu banyak operasi atau tentang bagaimana menyaingi keahlian dokter yang selama ini mereka damping. Who knows? Taktik mencari perhatian pun harus dimulai. Jika tidak?tidak tahu.Pelan tapi mengagetkan, bunyi kecil dari mulutku terdengar seperti anak ayam yang tiba-tiba ada di tengah hutan rimba yang kehilangan induknya. Sekian detik mulai seperti bunyian sedikit bernada hmm…hmmm…hmmm….hmmm….lalu la la la..la ..la ..la. Hei, kemana semua lagu jazz yang kutahu??
Para bli perawat langsung mendekat. Bunyi tok-tok, sedetik berhenti. Mungkinkah efek bius setengah badan, penggusuran tulang mati dan pencaplokan tulang lain telah mampu mensuplai keajaiban bagi pasien ini untuk menciptakan syair kehidupan? Mungkin begitu pikir mereka. Maka si bli yang satu mencoba bertanya (sejujurnya hanya satu pertanyaan saja yang dibutuhkan he he) “gimana mbak”. Lah, gimana? Kenapa kalian bicara seakan-akan tidak ada saya disitu?Walaupun hanya sepotong badanku yang sadar, ayo diskusilah dalam bahasa yang bisa kupahami, tentang tanah-tanah warisan yang banyak dijual anak-anak muda di bali pada bule hanya untuk bersenang-senang; tentang orang-orang tua yang tertinggal di persawahan bekerja sendirian karena tidak satupun anaknya mau jadi petani lagi; tentang pemerintah lokal yang hanya memikirkan bagaimana mendapatkan uang dari turis tapi malas berpikir tentang bagaimana menjaga alam dan keasliannya sehingga pantai Kuta pun jadi tumpukan sampah. Ayo bicara? Saya juga bisa cerita tentang bagaimana nasib orang Peura yang hidupnya terancam hingga bergenerasi karena perusahaan Jusuf Kalla membuat kabel kabel beraliran petir menari-nari di atas atap rumah mereka; atau tentang perempuan dan anak-anak yang hidupnya tragis karena konflik.
Si Bli, coba tersenyum. Ini pasien, padahal dengkulnya tidak diambil dan dipindahkan ke atas sini, kenapa ngomong tidak karuan? Pikirnya pasti begitu. “kemana perawat perempuan, bli?” seseorang yang lain menjawab lebih ngaco “nanti akan datang,mbak” yaikksss….ini kan sudah sementara operasi?lalu perawat perempuannya bertugas apa di lapangan operasi kalau belum hadir disini?Ah ya jadi ingat, para perawat perempuan dari tadi berkeliaran hanya mengantar dan menjemput. Apakah pembagian tugasnya begitu karena jenis kelamin atau? Akan kucari tahu nanti. Tapi tidak di ruangan ini, bisa-bisa operasinya tidak jadi karena pertanyaan jenis itu bisa disalahpahami kalau saya maunya didampingi, dioperasi perawat perempuan.Hm. Diam, coba cari percakapan lain yang jawabannya kira-kira lebih panjang dari pertanyaan. Tak menemukan. Sebaiknya menyerah.
Jam 16.45 (tadi masuk sekitar pukul 15.00)
Bunyi tok-tok berhenti. Dokter Wien sudah membasuh tangannya., dokter lain sedang mengepak sesuatu berwarna putih yang diberi cairan warna putih?Tidak bisa menebak untuk apa itu. Sebelum keluar ruangan Dokter mengacungkan jempol “bagus”. Sementara saya terus menerus bengong dan berusaha tanya pada Bli perawat “apa jam di dinding itu tidak salah”
Begitulah cepat dan baik, sempurna. Ketika hari kedua pasca operasi, dokter sudah mulai mengajarkan cara menggunakan kaki, trauma operasi pertama dua tahun lalu terasa aneh, karena yah! Tidak terasa sakit. Jadi, hari ini ketika infus dan penekan rasa sakit dicabut, hanya geleng-geleng kepala takjub yang bisa diekspresikan ke perawat (kali ini perawat perempuan).
Step Project – dokter ahli orthopedic yang professional dan tentu saja punya pengalaman, baik hati dan kalau perlu ganteng :-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar