Laman

Lokapala


Day 5 - 20 May

Sue, sepertinya sudah memiliki rincian misi penyelamatan kaki. Termasuk di hari ketika dokter dan perawat rumah sakit hijau secara resmi mengusir keluar diriku. “saya punya teman orang Inggris, namanya Jhon, badannya besar. Karena jalan ke rumah sangat sempit dan terjal maka, if you don’t mind, dia akan mengangkatmu” Wow. Yah, itu satu-satunya yang alasan yang membuatku berpikir keras hingga tulang-tulang yang baru saja merasa sebagai teman di dalam sana seperti salinng berpelukan tidak mau dipisah, takut jatuh. Sementara para dedagingan yang rasanya sudah lengket mulai meregang, takut terpisah karena salah gerak.

“Don’t worry, we already think of you to arrive in home with save” Sue memastikan lagi. Berpikir panjang tidak baik, maka mengangguklah sambil bilang “awesome, thank you”. Keluarga baruku di sini memang luar biasa memikirkannya.

Tidak ada hambatan yang berarti dari ruang hijau ke luar gedung rumah sakit hijau bernama Rumah Sakit Dharma Yadnya. Konon artinya, berbakti. Rumah sakit ini rumah sakit umum dari Yayasan Hindu. Sekarang bisa dimengerti mengapa warna dominannya hijau kan?i love green. Para perawat berpakaian tentu saja hijau itu menebarkan senyum seakan bilang “lain kali kalau sakit lagi kemari saja ya?”what, tidak mau! Bukannya tidak mau ke situ tapi tidak mau sakit lagi, suster.

Sepanjang jalan, Sue harus memalingkan kepalanya berulangkali kearah bangku tengah mobil. Bercerita tentang lebah nakal kuning yang salah jalan masuk ke telinganya dalam perjalanan pulang dari rumah sakit, kemarin, yang membuatnya menjerit kesakitan sepanjang jalan dan tidak seorangpun bisa mengeluarkan lebah itu dari telinganya. Juga tidak ibu Wayan, dan para suster di klinik Yayasan Bumi Sehat. Malam itu, cerita Sue, obat tidur dari Serrena yang membuatnya tidak merasakan bunyi rrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr di telinganya. Pagi hari sebelum ke rumah sakit, seseorang di klinik Yayasan Bumi Sehat akhirnya berhasil menepuk si lebah nakal keluar dari lubang telinga yang tidak pernah dimaksudkan untuknya. Tapi Sue hanya bisa mendengar setengah dari semestinya.

Cerita lebah hanya terpotong saat tiba-tiba Yana yang ada disampingku berteriak nyaris histeris “wow..aduh senangnya mi dan dorang (tentu pakai logat kampung halamannya). Adoh, kalo ada saya disana juga saya so habis itu baju dicoret-coret juga. Ode, saya so bayangkan itu, pasti juga dorang rame disana. Ode, pe enak jo dorang” Yang dimaksud Yana ternyata adalah anak-anak SMU di Denpasar yang menorehkan kenangan terakhir mereka di masa-masa penuh nostalgia, seperti syair sebuah lagu, dengan mencoretkan semua jenis warna di baju, celana hingga wajah dan rambut. Sesekali teriakan dan pelukan mewarnai semua aksi yang hari itu banyak di liput media massa negeri. Made, si supir, sampai merasa harus menghentikan mobil sejenak untuk membantu Yana mengekspresikan perasaannya yang sama seperti anak-anak SMU yang sedang mencoret-coret itu. Pagi tadi, Yana sempat menjerit sambil menangis (dua ekspresi yang mengherankan para perawat dan pengunjung di rumah sakit). Dia dinyatakan lulus dari ujian nasional, setidaknya itu menurut kabar dari kakak perempuanku yang menelponnya. Lulus SMU memang terasa berbeda dengan lulus dari tingkatan pendidikan manapun. Mungkin itu sebabnya hanya lulusan SMU yang diwarnai dengan coretan kenangan berwarna. Para suster (kali ini bukan perawat rumah sakit) di sekolah didikan Katolik-lah yang tidak setuju dengan konsep itu. Makanya dulu, meskipun lulus dengan angka terbaik, tidak pernah ada tanda coretan apapun di baju SMU-ku. Kami diwajibkan memberikan baju sekolah yang masih layak pakai ke anak-anak panti asuhan di sekolah kami. Sebuah kebijakan yang waktu itu diprotes diam-diam anak-anak SMU, termasuk saya. Masa muda, masa menciptakan nostalgia, setidaknya begitu lagu Roma Irama yang dikutipkan ke suster kepala sekolah dan hanya disambut dengan gelengan kepala,tegas.

Yana memang tidak sempat menorehkan kenangan pada seragam baju sekolahnya, karena harus mendampingiku dalam proses ini,tapi setidaknya dia lulus dari tuntutan negara untuk menyelesaikan tahapan pendidikan dengan sistem ujian nasional. Sistem ujian yang mendapat protes keras dari para orang tua, termasuk artis cantik Sophia Latjuba, karena sarat dengan ketidakadilan, korupsi juga menyebabkan banyak siswa bunuh diri karena tidak lulus.

Tanpa disadari, mobil sudah di depan lorong Nyuh Kuning. Saat masih berpikir keras bagaimana hendak tiba di rumah tanpa tongkat dan kursi roda. Seorang lelaki, bule, tinggggggiiiii sekali, belum pernah melihat ukuran badan itu di depan mata, tiba-tiba sudah berdiri di samping pintu mobil. “Hi, are you ready?” What?

Senang juga melihat sue, yana dan made tertawa sepanjang lorong, seperti riang melihat pemandangan itu. Sementara si bule tinggi besar yang belum pernah kulihat ukuran badan itu nampak berusaha membuat nyaman agar si kaki tidak protes. Taktik Sue berhasil, tidak ada rasa sakit, sebaliknya tiba dengan selamat di teras rumah. Setelah berbasa-basi sejenak dengan si bule tinggi besar yang belum pernah kulihat ukuran badannya itu, mulai menikmati kenyataan baru pasca ruang hijau. Villa Lokapala.

Setidaknya tiga kali belokan tajam di lorong menuju Lokapala, sejauh 200 meter. Jalan lurus pertama di lorong itu masih ada lahan kosong penuh dengan pohon pisang, bertuliskan: dijual. Di belokan kedua berhadapan dengan kebun pohon pisang, sebuah rumah kosong megah namun khas Bali dengan kolam yang dipenuhi teratai cantik di kiri kanan jalan bertingkat kecil menuju gerbang utama rumah itu. Tidak tahu siapa pemiliknya, mungkin salah seorang artis. Di belokan ketiga bersebelahan dengan rumah teratai cantik itu, hamparan sawah yang baru beberapa bulan lalu dipanen. Hampir di bagian tengah hamparan sawah seluas 2 hektar itu dua rumah sedang dibangun. Rumah pertama dibangun bertingkat khas Bali. Para pekerjanya rajin menegur kami yang lewat dengan gaya khas Balinya. Rumah kedua yang sedang dibangun tepat sebelum villa Lokapala. Suara Azan dan lagu-lagu khas Nike Ardilla sering menemani aktivitas pekerjanya yang konon berasal dari Banyuwangi, daerah muslim yang masih mendapat tempat di hati orang Bali pada umumnya pasca Bom Bali dan isu-isu terorisme yang meneror lewat layar kaca. Setelah beberapa hari kemudian baru menyadari pembangunan rumah tetangga cukup mempengaruhi para tulanger dan danginger di dalam. Maklum sama-sama sedang mengkonstruksi sesuatu.

Rumah Bali, selalu bisa diidentifikasikan sebagai rumah Bali. Segala sesuatu punya makna dari sejak dipintu masuk. Nomor satu adalah ukiran-ukiran.Pintu gerbang memasuki halaman rumah harus dua pintu. Sebelum pintu gerbang, dua patung di kiri kanan nampak memegang sesuatu berlaku seperti penjaga. Pintu masuk dari kayu penuh ukiran itu berhadapan langsung dengan satu tembok berukuran kecil di halaman villa seperti hendak menghalangi pemandangan langsung menatap bangunan villa. Ada juga satu patung yang selalu berhias bunga kamboja duduk di tengah tembok, sementara kiri kanan tembok berukuran 2 x 2 meter itu dipenuhi bunga asri. Kata Bli Ari tembok itu akan menapis segala bentuk roh jahat dan roh baik yang memasuki rumah.

Taman asri di depan villa adalah bagian favoritku. Sejauh mata memandang, hijau. Beberapa burung sering hinggap di pepohonan dan bunga yang sengaja ditanam. Rumput segar rupanya juga jadi favorit kucing-kucing yang tidak sengaja dipelihara Sue. Yap. Sue menyewa villa ini sudah setahun yang lalu. Katanya villa ini tempat favoritnya dibandingkan tempat lain di seluruh dunia yang pernah dia singgahi.

Sore itu, tempat favorit Lilo, mulai diklaim menjadi wilayah kekuasaanku untuk pemulihan. Bukannya memilih langsung masuk ke kamar menemui si bantal empuk, kursi panjang mirip tempat tidur berukuran satu orang dari bahan kayu terbaik, tentu dengan ukirannya yang cantik menjadi tempat penyambutan pertama menggantikan ruang hijau. Sementara ini diberi nama Istana Lilo.Segala hal yang penuh makna bagi orang Bali dekat dengan tempat itu. Di sudut kanan kanan bagian atas Istana Lilo, berwarna campuran kuning emas, hitam dan sedikit merah terdapat tempat berdoa dan tempat sesajen yang setiap hari selalu diganti. Sebuah pertanda rumah itu selalu diberkati.Dibagian kiri atas nampak kertas kain berbagai warna berukuran setengah kertas HVS berjuntai dan menari saat ditiup angin. Kertas kain berwarna merah, kuning, putih hijau, biru itu bertuliskan huruf sansekerta yang tidak dapat kumengerti. Konon, setiap hembusan angin yang mengayunkan kain kertas itu membawa kabar baik dari segala penjuru mata angin. Dan, tentu saja Istana Lilo berada tepat di lalu lintas pertemuan penghuni villa, termasuk para tetangga yang sering mampir untuk internet kafe. Teras dengan ubin berwarna agak coklat itu sempurna untuk menghitung berapa langkah yang akan bisa ditapak nantinya. Begitu pikirku ketika memandangnya.

Hingga semburat matahari perlahan agak enggan meninggalkan langit, teras dan Istana Lilo masih terlalu cepat untuk ditinggalkan. Rasa lelah karena perjalanan panjang dan aksi heroik si Englishman tadi tidak cukup menghalau keterkejutan melihat semakin banyak penghuni villa tetangga mulai berkumpul menyampaikan salam, memberikan semangat juga tepukan hangat di bahu. Bahkan pasangan Singapura dan Malaysia yang juga baru datang terpaksa harus menggeser bantal bola besar di depan istana Lilo untuk turut nimbrung dengan pembicaraan tidak berujung malam itu. Yana menambah porsi memasak. Mirip pesta. Tapi sayangnya pesta harus ditinggalkan sebelum mulai. Rasa kantuk dan lelah memaksa badan untuk undur diri dari kerumunan para ekspatriat.

Kenyamanan terus berlanjut diantara rasa sakit di tiga wilayah negara bagian tubuh. Tempat sempurna untuk memulai lagi.

Step Project - day 5: Home. Tempat yang nyaman (kali ini, sempurna!) membantu seluruh energi dari alam semesta menyambut dan mencurahkannya bagi ku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar