Laman

Eat, Pray and Love


Day 8 – Second week

Sebenarnya rencana awal semua proses ini adalah di Solo. Rumah sakit Solo sudah sejak awal disebut-sebut oleh banyak orang berkaitan dengan rencana. Namun Dika mendorongnya lebih baik dari perencanaan itu dan Sue menjadikannya lebih sempurna dengan semua bantuan, motivasi dan ruang yang ada padanya. Ketika pertama kali divonis oleh Dr. Bobi, seorang dokter akupuntur berpengalaman yang sudah berumur bahwa kaki ini sudah mati dan harus secepat, sangat cepat ditangani agar tidak lumpu, rasa panic melanda. Maka hari-hari dipenuhi dengan kunjungan dari satu dokter ke dokter lain, dari satu terapi ke terapi lain, berharap ada yang menghibur dengan kata yang lain. Tapi tetap saja tidak. Semua mengatakan “ jika tidak sekarang, maka jangan bermimpi”

Perjalanan dari TEDxUbud yang kata Sue berulang-ulang mendapatkan empati dari banyak pihak kemudian membawa langkah kaki ke salah satu terapis terkenal di Ubud yang bersedia memberikan terapi gratis padahal tarifnya luar biasa internasional. Terapi dan perbincangan ini kemudian membawaku secara tidak terduga pada salah seorang pengobat tradisional yang terkenal sejak film “Eat, Pray and Love” yang dibintangi Julia Roberts beredar. Namanya, ibu Wayan. Saya belum pernah menonton filmnya, Sue juga belum, apalagi Sherrena yang hari itu turut menemani perjalanan menyelamatkan satu kaki. Tapi kami bertiga sangat bersemangat untuk mendengar apa komentarnya tentangku.

Tidak sulit menemukan rumahnya yang ternyata tidak jauh dari tempat Sue. Jalanan agak menurun tajam, dan mengharuskan mobil diparkir sekitar 500 meter dari jarak yang hendak dituju. Tidak ada yang istimewa dari tampilan bangunan tempat praktek ibu Wayan yang kata sang terapis sudah menjadi kaya sekarang. Sebaliknya, selain unik, dari bagian depan hingga dalam rumah semuanya penuh dengan deretan obat tradisional yang, termasuk tanaman tradisional yang semuanya sudah diterjemahkan dalam bahasa inggris.

Ruangan itu tidak terlalu bersih (terutama setelah membandingkan dengan settingan ruangan dalam film yang CD-nya langsung diburu begitu keluar dari rumah ibu Wayan). Seorang bule nampak duduk di kursi sambil menahan sakit, nampak lusuh. Tiga orang bule lainnya sedang melihat-lihat obat di deretan rak. Seseorang, juga bule, keluar dari kamar mandi. Di bagian atas rumah terdengar percakapan dalam bahasa inggris.Ha, ini seperti klinik berobat internasional dengan wadah tradisional? Saya memiringkan kepala, berterimakasih kepada seorang anak remaja yang dengan senang hati, tersenyum manis memperkenalkan dirinya sebagai Tuti kepada saya, Sue yang tetap sibuk dengan kameranya dan Serenna (belakangan saya baru tahu kalau dia anak ibu wayan).

Tiba-tiba seorang ibu berwajah khas bali (bukankah beberapa kali kita bisa mengidentifikasikan wajah dengan asal daerah?), dan berpakaian bali berwarna coklat dan maroon turun dari tangga sambil berbicara dengan seorang bule yang nampak sedang memperbaiki kain kemben di belakangnya. Matanya langsung menuju kearahku. Dan berkata “kamu dari mana” lalu “ disini mau datang berobat?” Begitu mendengar penjelasanku yang bahkan belum selesai, si ibu yang kemudian ternyata adalah ibu Wayan langsung mengambil tempat duduk, menyuruh membuka perban di kaki sambil berkata “ Oke, yang lain mengantri dulu ya, saya akan tangani mbak ini dulu, ini lebih penting”

Wow…dan begitulah, langsung tanpa tedeng aling-aling. Menyiram air hangat di tulang-tulang terbuka, mencuci dengan daun-daun, memasukkannya di dalam lubang tulang. Well, terasa hangat, namun juga kuatir. Apa ini bersih. Seperti tahu apa yang ada dalam pikiranku, ibu Wayan bilang “ ini untuk membersihkan semua getah racun dan darah kotor dalam tulang dan daging juga dalam tubuhmu. Setelah ini langsung minum ini, ini pahit tapi harus diminum”

Proses ini berlangsung sekitar 1 jam, dengan semua baunya yang khas. Sue dan Serena juga terbengong-bengong dengan cara ibu Wayan menangani penuh perhatian sekaligus unik terhadapku. Ada sekotak obat harus dibawa, juga mantera yang harus dibaca. Wah, ini semakin menarik.

Malam hari setelah hari yang tidak terencana ini terjadi begitu unik, merancang doa yang terbaik untukku. Bli Ari, pemilik villa membantuku. Pukul 20.15, berjalan bersama ke pertigaan lorong menuju Lokapala dan berdoa bersama Bli Ari, agar seluruh roh yang pernah terbuang dua tahun lalu kembali ke tempatnya membantu proses penyembuhan. Bli Ali membaca mantera. Saya mengatupkan kedua tangan di atas kening, berdoa memohon semua proses berjalan baik untuk program penyelamatan kaki, bagaimanapun caranya.

Khusuk.
…….

Ah..proses ini begitu bermakna dalam seluruh keunikkannya yang tidak terduga. Namun, logika juga kemudian mengantar pada tuts telepon dipencet agar motivasi dan aura untuk sembuh yang sedang mengelilingi diriku tidak padam, khususnya setelah doa dari pengobat versi “eat, pray and love” dilantunkan. Di ujung sana berbunyi “Sanglah Hospital, may I help you?” rupanya di Bali semua sudah dalam komunikasi internasional sekarang. Berdiskusilah soal kemungkinan bone grafting yang disebut-sebut dr. Bobbi sebelumnya dan yang sudah diselancar di jaringan internet. Ada yang namanya dr. Wien disebut sebagai dokter yang bisa melakukan bone grafting. Lega.

Perjalanan ini seperti diarahkan oleh doa yang terucap dari semua orang yang menyayangiku, juga mencintaiku.

Smooth….Sudah kukatakan?Bali jadi pilihan untuk menjalankan “Saving Private the leg”

Sejak saat mendengar dan mendiskusikan kemungkinan bone grafting juga melihat keajaiban yang dilakukan oleh dr. Wien, seperti kata dr. Bobbi padaku saat kunjungan empat hari setelah keluar dari rumah sakit “dr. Wien, adalah sahabat terbaik bagi kakimu, saat ini. Jadikan begitu”

Step Project : dr.Wien. kontrol perkembangan kaki setiap tiga hari sekali, Ubud-Denpasar. Diskusikan setiap perkembangan. Tanyakan setiap pertanyaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar