
Days on Fourth Weeks
Untuk setiap mereka yang berada di satu tempat pada hari yang sama atau setidaknya pada perhitungan waktu yang tepat di sepanjang jalan Ubud-Denpasar akan melihat seorang perempuan menggunakan kruk dikawal saudaranya, melewati, singgah, berkepentingan di tempat yang sama untuk kepentingan yang sama.
Minggu pertama dan minggu kedua pasca operasi, setiap tiga hari sekali mengunjungi dokter Wien. Minggu pertama kunjungan banyak percakapan soal tahapan pemulihan. Tidak ada yang terlalu bisa dilakukan secara teknis selain berjalan seperti dua tahun yang lalu, dengan dua tongkat. Selebihnya menyerahkan pada tumbuhan, ikan, segala jenis rempah dan tentu saja obat-obatan untuk membantu mengeringkan luka di dalam maupun menyambung daginger dan tulanger. Masih basah di sekitar wilayah transmigrasi baru. Setiap tiga hari sekali mengecek perkembangan penutupan. Obat-obatan diminum tiga kali dalam sehari, dan berdosis tinggi, lima macam (membuat perutku lebih kenyang dengan obat daripada makanan, untung ada yogurt yang membuat percaya diri bahwa dosis obat tidak membunuh semua bakteri, termasuk si bakteri baik :-)
Minggu ketiga pasca operasi, mengunjungi dokter mengalami kemunduran, setiap lima hari sekali. Kadang-kadang empat hari sekali, tergantung ketakutanku terhadap bau yang dikeluarkan oleh hasil pemerasan antibiotik di kaki, termasuk saat terlalu cemas melihat rembesan cairan di bagian permukaan. Hebatnya bukan nanah, tapi cairan dan darah mati yang menurut dokter memang harus keluar. Dan, bukan hanya mulai ringan dan terbiasa dengan pola pemulihan ini tapi juga lebar daerah basah semakin mengecil dengan cepat. Obat yang diminum berkurang. Hanya satu yang berdosisi dua kali sehari dan jumlah obat menjadi tiga macam, semuanya bernada kalsium.
Begitu juga minggu ke empat, minggu ke lima,...Yayyy!!!how long is it now???Gosh!
Minggu kelima,yay!!!!gugup. Minggu mendapatkan X-ray kaki. Mengintip ke dalam. Tidak sabar menunggu dokter menyelesaikan antrian pasien yang lain untuk mendengarkan hasilnya. Entah kenapa setiap kali kunjungan, selalu saja ada banyak pasien sehingga terasa rumah sakit ini, khususnya Sanglah hanya diurus dokter Wien he he.Pasiennya dari usia bayi (ini pasien paling menyentuh yang pernah kutemukan di ruang kunjungan karena terlihat sangat susah bernapas, membuatku merasa lebih beruntung bisa menggunakan tongkat dan tetap berjalan), anak-anak, hingga lanjut usia. Pernah sempat membayangkan apakah dr. Wien punya waktu untuk keluarganya dengan puluhan pasien yang datang silih berganti. Juga pernah berpikir apa dia mengenal satu persatu pasiennya atau perawatnya yang mengingatkannya?hee…jadi ingat serial Greys Anatomy he he. Itupula sebabnya dr.Wien adalah orang pertama yang saya tunggu dalam durasi yang lama dan berkali-bali (hampir setiap kunjungan). Terlama menunggu adalah tiga jam...Untung waktu itu bisa dihabiskan dengan menelpon, sms atau membaca (yang terakhir ini tidak lagi bisa dilakukan pasca enam buku yang dibawa habis dibaca)...Hm..Eh, sampai dimana tahu, ohya hari X-ray.
Dengan tenang dan penuh percaya diri (hm, apa dokter selalu begitu untuk menenangkan pasien?), dr. Wien memperlihatkan foto X-ray. Ta….daa……….bagus!!! Disertai dengan kalimat pendek yang menggetarkan hati (hah!!!!!). Pertama kali merasa ada kata yang menggetarkan hati dalam irama yang datar dan penuh analisa (hei, bukankah biasanya orang mendapatkan getaran hati ketika ada sastra yang mengalun di dalamnya???ha ha ha). Katanya “ mulai besok, sudah bisa belajar jalan dengan satu tongkat”
Wiiiiiiiiiiiiiiiihhhhhhh……………..dua tahun 3 bulan 15 hari. Hitungan tepat. Seperti Sophia yang melompat gembira memelukku ketika bilang “iya, oppie boleh ambil lipstik mama”
Minggu ke lima, jadwal kunjungan dokter menjadi satu minggu sekali. Ini baik. Sedikit menyenangkan meskipun berarti mengurangi kesempatan menikmati jalan raya (iya, menikmati jalan raya, karena hanya dalam mobil).
Ah ya, dalam setia acara date dengan dr. Wien, ada Wayan, Oka, Dewa yang menjadi supir. Bergantian tergantu kesibukan, meskipun saya sering memilih untuk bersama Bli Wayan. Bli Wayan, supir paling tua yang sering disewa oleh Sue untuk mengantarkan kemana tujuan. Hampir selalu berbicara di sepanjang perjalanan, tentang keluarganya di Sulawesi Tengah yang sukses menjadi petani. Dia sendiri sudah pernah empat tahun tinggal di parigi, Sulawesi Tengah, namun kembali ke Bali untuk menjaga anak dan istrinya. Bli Wayan, lucu, suka lagu dangdut dan berusaha keras menggunakan bahasa Indonesia ketika berbicara denganku. Maklum, bahasa Bali tentu saja paling dikuasai Wayan, meskipun bisa juga berbahasa Inggris tanpa aturan (comot setiap kata menjadi satu bentuk). Wayan pernah menjadi TKI di beberapa negara, disitu dia belajar bahasa Inggris.
Oka adalah supir paling muda, hanya tiga tahun lebih tua dari usiaku. Dia lulusan universitas di Denpasar (lupa nama universitasnya), dan cenderung pendiam sepanjang perjalanan. Dia hanya akan berbicara jika ditanya, tapi setiap kali ditanya akan menjawab dengan ramah. Karena belum menikah, saya dan Sue diam-diam hendak menjodohkannya dengan Yana ha ha….usaha yang membutuhkan saya harus lebih sering ke rumah sakit agar mereka lebih sering bersama. Dewa, adalah supir terakhir yang akan saya hubungi kalau Wayan dan Oka terlalu sibuk sehingga tidak bisa mengantar. Mungkin karena sempat trauma dengan caranya membawa saya dengan kursi roda di sepanjang lorong yang menyebabkan selanjutnya saya memilih berjalan selama 30 menit untuk lorong sepanjang 200 meter :-(
Dating dengan dr. Wien menjadi acara yang menyenangkan karena setiap kunjungan selalu menantikan dan akhirnya mendapatkan berita versi kajian kedokteran tentang kaki, meskipun saya sendiri merasakannya. Benar kata dr. Bobbi “ jadikan dokter Wien, sahabat terbaikmu selama pemulihan”.
Step Project : Ketemu dr. Wien, menjadikan semua petunjuknya adalah kitab untuk kaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar