Laman

World Within


Days on third weeks

Masih sangat ingat tiga bulan pasca kecelakaan adalah masa-masa yang mengerikan untuk jiwa dan pikiranku. Bukan saja badan. Tidak ada yang bisa dilakukan. Bahkan terlalu takut untuk melanjutkan berpikir, terasa seperti berada dalam kotak hitam kecil. Sudah kecil, hitam pula. Pekat. Kemudian seseorang dengan penuh kasih dan sangat serius menerima menjadikan kotak hitam kecil itu menjadi lebih berwarna dan sedikit lebih luas untuk bernapas. Bahkan melanjutkan hidup. Sophia yang masih sangat kecil, selalu ingin digendong, selalu ingin ditemani dan ingin bermain membuatku merasa menempatkannya dalam penjara anak-anak.

Itu, dua tahun yang lalu. Sebuah awal dari kehidupan baru yang kemudian mengantar pada detik catatan ini. Juga sebuah titik yang mengantarkan pada semangat yang melampaui keberadaan fisik. Mengabaikan kondisi kaki yang berlobang, dan hitam, membawanya berkeliling. Seringkali lupa bahwa kaki ini masih saja tetap kaki yang butuh tanah untuk meletakkannya. Tongkat terasa lebih bersahabat dua tahun kemudian. Sophia bukan satu-satunya alasan meskipun dia selalu yang menjadi satu-satunya alasan. Membangun organisasi lokal yang kecil tanpa bantuan dana, semangat di mata anak-anak yang rela berjalan kaki menuju teras rumah, juga cerita para perempuan di wilayah pasca konflik menguatkan tekad untuk menyita waktu dua tahun, tidak menghiraukan kekesalan hati seseorang yang mengatakan peduli pada kesehatan kaki yang semakin lama dagingnya lenyap dimakan udara.

Ketika akhirnya waktu itu tiba, Sophia sudah bisa mengetahui alasan mengapa harus berjalan tanpa tongkat; para teman mengaku akan mengatasi dan menjalankan proses sekolah perempuan; sang kasih mendorong untuk peduli pada masa depan sendiri; para sahabat membantu seluruh proses. Maka disinilah dunia itu kemudian berputar.
Hari-hari pasca operasi tidak lagi sama seperti hari-hari pasca operasi pertama hingga operasi keempat di kota titik katulistiwa di Sulawesi itu. Kepastian. Jaminan. Itu sebelum hingga sesudah operasi.Hari-hari juga enggan mengulang masa dua tahun lalu. Alih-alih hendak beristirahat dengan focus pada pemulihan, terapi fisik dan psikis, Lokapala menjadi tempat sempurna untuk melampauinya.

Satu hari setelah pulang dari dari rumah sakit, di minggu kedua, Alam Aksara membuka ruang bagi mimpi yang sudah sangat lama, perpustakaan keliling dan akses pendidikan untuk anak-anak pasca konflik. Ternyata itu adalah awal. Minggu ketiga masa pemulihan ini terasa seperti pindah kantor di tengah-tengah dunia. Awalnya adalah para ekspatriat yang hilir mudik di Lokapala.

Beberapa diantaranya adalah volunteer di Yayasan Bumi Sehat milik ibu Robin. Rowen, seorang single mother dari USA. Pembatalan sepihak dari pihak perusahaan pesawat terbang tidak membuatnya menyesal sebab katanya dia bisa melihatku berbicara di TEDxUbud. Kate, seorang gadis asal USA yang sangat independent dalam usianya yang baru 18 tahun. Sanggup bertahan seharian di atas meja makan dari bamboo di teras untuk ngobrol melalui internet. Serrena, juga dari USA, California, perawat yang sangat perhatian padaku, sangat baik memberikan masukan tentang isu kesehatan, juga seorang pendengar yang sangat baik. Stephani dan Jennifer (yang terakhir namanya disebut ini kurang yakin), teman Serrena yang sedang menikmati masa berlibur di Bali. Devin, yang paling cheerful diantara semuanya, teman membuat manik-manik yang kreatif, sangat terbuka bercerita dan selalu membuat tertawa dengan ekspresinya yang penuh semangat saat berbicara.

Raid Project, juga adalah tempat banyak volunteer dari ekspatriat ini bekerja. Jen, gadis yang berwajah eksentrik, sering bekerja keras tapi juga sangat santai kalau sudah diajak ngobrol. Mau berbagi perjalanannya ke Lovina dalam project eco-tourism. Helen, teman Jen yang terlihat suka makan masakan yang kubuat meski saya jarang berbicara dengannya. Michael, seorang filmmaker professional yang cerdas (menurut Sue) di usianya yang masih muda , makan sangat banyak saat saya masak, suka berbicara tentang ide-ide kreatifnya. Brad, founder Raid Project, seorang yang sangat serius bekerja dan selalu berpikir tentang pekerjaan. Pernah suatu hari dengan nada sangat serius menjawab Sue “ I’m here for work, not for party” sewaktu Sue menanyakan apakah berminat untuk ikut pesta. Seringkali merasa lucu dengan keseriusannya. Namun yang menyenangkan meskipun sibuk, Brad berbaik hati meluangkan waktu satu jam sehari dalam satu minggu untuk berbicara denganku mengenai project yang mau dikembangkan.
Para ekspatriat sebagian besar adalah para petualang. Yang tidak bekerja untuk uang namun mengabdikan diri bagi kehidupan. Beberapa mencari makna menjadi dirinya sendiri.

Ruang berukuran 5 x 6 di tengah salah satu bangunan vila, juga teras dekat istana Lilo menjadi hidup dengan kehadiran mereka dalam ide-ide dan karya yang menurutku keren. Dari acara makan malam hingga diskusi para gadis menyebarkan ide yang berlanjut pada rencana yang mennghidupkan.

Minggu ketiga pasca operasi, hari-hari penuh dengan ide-ide. Eco-tourism, perpustakaan keliling, beasiswa untuk anak pasca konflik, kampanye penyelamatan lingkungan hidup, dance war, hanya salah satunya yang kemudian digarap serius menjadi mimpi lalu project.Project yang kemudian menyadarkan alam bawah sadar kebutuhan agar para tulanger dan daginger untuk semangat!!!!!!!!!!!!....bukankah jika tanpa mereka maka itu hanya mimpi. Yayyyyy….. !!

Jadi, meski laporan dari para fasilitator lapangan Sekolah Perempuan bahwa seluruh proses berjalan dengan sangat baik, atau perkembangan menggembirakan dari sanggar anak bukan hanya soal jumlah tapi juga kreativitas yang mulai membawa mereka berkunjung ke wilayah lain di luar Pamona, juga bahwa video kampanye kasus tower SUTET di Peura yang selama ini saya damping sudah bisa dipublikasikan, dan kaki masih tetap sedang berjuang. Kali ini semangat seperti seorang ibu yang melahirkan anak yang kemudian diberi nama Sophia,ide boleh dibuat jadi mimpi kan?

Sementara ide-ide terus mengalir, jadwal ke dokter masih setiap tiga hari sekali, 40% daging yang dicangkokkan dari luar tampak bagus dan mulai mongering. Sebagian masih berjuang beradaptasi. Kaki belum bisa dipijak, tetapi alat penahan telapak kaki sudah sesekali bisa dibuka sekedar memberika napas pada kulit-kulit kaki. Tentu saja kaki sudah lebih ringan seperti biasa sebelum operasi, namun tidak lagi kusam. Meski harus mengakui belang-belang disekitarnya mengaburkan bentuk tetapi saja sudah dapat disebut kaki, bukan lagi seonggok daging menumpang he he.

Dunia di dalam sana, dimana para danginger dan tulanger bekerja keras untuk menyambungkan, menghubungkan, berkomunikasi satu sama lain, dan dunia dimana dukungan dan motivasi berdatangan memiliki jembatan. Mimpi.

Step Project : Merancang mimpi. Pertama-tama, bisa berjalan (oh…ya!!tentu saja). Sementara itu mimpi pun bukankah harus dirancang?Berterimakasih pada dunia yang bergerak sekarang di saat yang indah dan waktu yang tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar