Laman

Percikan



8th Weeks


Ide itu melesat secepat pikiran mengeluarkan kata-kata. Badan gemetar menyambut setiap rencana yang dibicarakan. Tangan mengepal kuat meyakinkan diri sembari melirik RIGHT yang terbungkus perban coklat. Peta dunia seperti berada di setiap pohon, bunga dan rumput di taman Lokapala, menjelaskan jalur-jalur yang menanti.

Pembicaraan 32 menit yang aneh ini justru berawal dari rencana kepulangan Kate, salah seorang ekspatriat di villa ini. Iseng ingin mengetahui dimana Kate akan pulang, Sue membawakan peta Amerika Serikat dari laptop Apple miliknya. Tidak hanya menunjukkan tempat Kate, Sherrina, Devin, Rowen, dan dimana kampung halamannya berada, Sue juga bercerita tentang perbedaan karakter orang-orang dan image wilayah di masing-masing tempat besar di Amerika Serikat. Ha, rasanya pernah mendengar semua kota yang disebutkan. Los Angeles, Santa Barbara, New York, Washington DC, San Fransisco, Idaho. Pernah suatu waktu di film atau di buku-buku di perpustakaan yang pernah kubaca.
“San Fransisco tempat yang sangat menarik. Semua orang di USA mengatakan itu kota favorit mereka. Los Angeles pusat Hollywood, operasi plastic. Washington DC, pusat politik pemerintahan, New York kota yang paling sibuk dan stressful. Boston tempat banyak orang cerdas. San Fransisco kota yang indah, udara yang bagus, kehidupan yang menyenangkan…”

Lalu tiba-tiba ada sebuah keputusan
“oke, saya pilih San Fransisco”

Terbayang sejenak Sophia, Dika. Mungkin bersama mereka atau juga tetap sendiri. Atau menunggu hingga Sophia sudah berusia 10 tahun. Teringat dana tabungan Fofie yang belum dibayar 4 bulan. Ah harus segera diselesaikan supaya keputusan itu ditindaklanjuti.
“Suatu saat saya ingin punya sebuah perjalanan. Sebuah perjalanan. Bukan dalam rangka kerja tetapi sebuah perjalanan” lanjutku.

“wah, kamu harus. Itu seperti tradisi di tempat kami. Waktu itu saya dan teman saya yang perempuan juga melakukan perjalanan dari sini ke sini. Waktu itu bensin masih sangat murah. Sangat menarik mempunyai perjalanan sendiri”

Sue, diusianya yang 29 tahun, saat ini sudah menempati 28 negara di dunia. Dia punya target akan tinggal di 30 negara sampai ketika dia berusia 30 tahun. 30 negara di 30 tahun. Begitu cerita yang kemudian berkembang. Negara yang berikutnya akan dia pilih adalah Laos. Ketika saya tanya benua apa yang paling menarik untuk dikunjungi, Sue menyebut dengan cepat benua Asia. Menurutnya Asia sangat menarik untuk dikunjungi, lalu Afrika. Indonesia khususnya Bali adalah tempat yang Sue inginkan ( Dia menambahkan bahwa dia menyukai dan membenci Bali sama seperti dia menyukai dan membenci Amerika, sama-sama.)

Lalu ada percikan itu dimulai

“saya ingin sekolah S3 sebelum 35 tahun” kataku, spontan.

“Amerika tempat belajar yang bagus dibandingkan Eropa” jelas Sue penuh semangat ketika saya tanya dimana tempat yang menurutnya bagus. “Amerika Serikat punya sistem pendidikan yang lebih baik daripada eropa khususnya untuk gelar PHD. Dulu sewaktu menyelesaikan S1, saya dan teman-teman memutuskan untuk berkunjung ke negara lain untuk belajar. Saya memilih india sementara teman-teman saya ke Eropa. Mereka punya banyak waktu untuk have fun disana, sementara saya sangat sibuk dan pusing dengan semua urusan di India. Tapi mereka mengatakan sistem pendidikan di Eropa kurang baik. Salah satu yang saya sukai dari USA adalah sistem pendidikannya.

Ide berlanjut

“universitas apa?”
“Hmm..oke Harvard University itu jelas, bisa juga di San Diego, di Washington, di New York”
“San Fransisco”
“Yup, mungkin saja tergantung isu apa yang kau ingin ambil”
“Sue sudah tahu. Perempuan dan Anak, dan Sumber Daya Alam”
“Ah bagus itu di Toronto, Kanada. Tapi disana dingin. Itu tempat Arianto belajar juga kan”
“oke San Fransisco”

Di dalam, pikiran sedang berlanjut, bahwa sekolah itu akan sambil melakukan perjalanan.

Oh KAKI, saya membutuhkanmu.

35 tahun dan melakukan perjalanan.

Aliran percikan ide tak berhenti, ternyata. Bahkan semakin gila...

Sebelum 35 tahun, saya punya dua tahun lagi untuk menyelesaikan banyak hal. Sekolah Perempuan bisa berjalan karena telah menemukan metode dan bentuknya selama ini. Biarpun berada ribuan kilometer dari Poso, saya bisa tetap mengambil bagian penting dalam prose situ. Namun saya masih punya hutang besar bicara tentang sumber daya alam yang nyaris hilang di Morowali dan Poso. Perbincangan pun tak berhenti seperti menemukan aliran ide. Satu tahun pertama setelah bisa berjalan, akan mengelilingi Morowali dan Poso untuk mengambil gambar dan video tentang kekayaan sumber daya alam, tentang keindahan alam dan tentang kehidupan mereka. Lalu berkeliling kampung ke kampung hanya untuk memutar kembali foto dan video yang menggambarkannya untuk bicara tentang kehidupan yang tidak lagi akan mereka miliki jika tidak diperjuangkan mulai saat ini. Sue membantu memberikan energi pada ide itu dengan menceritakan tentang temannya yang akan bekerja khusus menggunakan metode film dan foto dalam kampanye. Metode ini sebenarnya sudah pernah kami diskusikan di ruang dalam villa. Namun entah kenapa saat ini menjadi lebih jelas dan terang kemana arahnya. Terutama menyadari bahwa selama ini metode kampanye eksploitasi sumber daya alam seringkali berlangsung dalam format lama ornop, yakni diskusi dan kampanye melalui tulisan. Ah, ya saya bisa menuliskan perjalanan setiap pengalaman di setiap desa.

ini seperti percikan air pada gelombang tenang, yang riaknya menyebar hingga ke pinggiran, lalu menyesak keluar dari lingkaran tepian.

Ya...

Ini dimulai (entah kenapa instingku bilang begitu)

Steps Project : Mimpi. Untuk itulah kenapa KAKI harus berjalan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar